Solusi berlabel Haram? (Anathema-labelled solution?)

Oleh: Kunaifi

(Ditulis atas permintaan Tabloid Teraju)

Tidak mudah menjawab pertanyaan apakah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) solusi bijak persoalan listrik Indonesia? Adalah fakta bahwa sepertiga penduduk belum pernah menikmati listrik. Selain itu, pertumbuhan ekonomi cenderung bagus, jumlah penduduk bertambah, dan krisis energi tak kunjung menemukan solusi. Semua itu mengarah satu kesimpulan tegas, bahwa kita perlu pembangkit listrik kapasitas besar, dan segera. Tidak dapat dibantah, bahwa teknologi PLTN tersedia kapanpun dibutuhkan untuk mengatasi masalah itu. Alasan lain mengembangkan PLTN, teknologi ini bebas emisi karbon, serasi upaya dunia memerangi pemasan global. Maka bukan hanya Indonesia, sederet negara lain siap mengembangkan PLTN seperti Argentina, Bulgaria, Mesir, Rumania, Afrika Selatan dan Vietnam. Negara-negara yang sudah duluan, seperti Kanada, China, India, Jepang, Rusia, Amerika dan Korea berminat menambah kapasitas PLTN mereka.

Setelah terhenti sekitar empat puluh tahun, pembangunan PLTN di Semenanjung Muria kemungkinan dimulai 2010 dengan target operasi enam tahun kemudian. Empat pembangkit berkapasitas total empat ribu Megawatt listrik (MWe) atau 35 kali lebih besar dari PLTA Koto Panjang akan menopang pasokan sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali (Jamali) sekitar 14 persen. Pro dan kontra mengemuka menyusul rencana ‘sensitif’ ini. Beberapa kali terjadi demonstrasi masyarakat Jepara menentang rencana pembangunan PLTN di wilayah mereka. Bahkan MUI Jawa Tengah mengeluarkan fatwa haram untuk PLTN. Pada artikel ini akan dikemukakan beberapa alasan mengapa banyak orang menentang PLTN.

Pertama, pada tahun 1986 terjadi kebocoran pada reaktor PLTN Chernobyl, Rusia. Apa akibatnya? William Sweet dalam buku Kicking the Carbon Habit mengutip temuan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang mengkaji masalah ini. Menurut IAEA, lima puluh orang tewas akibat radiasi tinggi setelah kecelakaan. Lalu, sekitar dua ribu kasus kanker Thyroid yang disebabkan iodine radioaktif berujung sembilan orang mati. Secara total, empat ribu manusia mati dapat dialamatkan pada kecelakaan PLTN Chernobyl. Bukan hanya itu, setelah duapuluh tahun kecelakaan, kini lima juta orang hidup di zona terkontamiasi. “Biaya ekonomi dari peristiwa ini tak dapat diperkirakan,“ kata Sweet.

Reaktor Chernobyl nomor 4 setelah kecelakaan (Foro: Answers.com)

Para pendukung PLTN mengemukakan statistik bahwa korban tewas akibat PLTN jauh lebih sedikit dibanding akibat pembangkit konvensional. Barangkali tidak ada yang salah pada klaim ini. Tapi, kelompok yang menolak PLTN mengatakan bahwa kecelakaan di pembangkit konvensional hanya menimbulkan efek pada kawasan terbatas. Jika waduk PLTA runtuh, misalnya, maka penduduk pinggir sungai di hilir waduk mungkin menjadi korban, lalu selesai. Tapi, jika reaktor PLTN Muria bocor, maka radiasi akan merambat di udara, menyebar ke mana-mana, hingga dapur rumah warga Jepara. Balanov, peneliti di IAEA mengatakan, kecelakaan Chernobyl, misalnya, melepaskan radioaktif ke udara mencakup beberapa negara Eropa terutama Belarus, Ukraina dan Rusia dengan luas lebih dari 200 ribu kilometer persegi, sekitar satu setengah kali luas pulau Jawa yang tahun 2005 berpenduduk sekitar 130 juta jiwa.

Peta level radiasi tahun 1996 – 10 tahun setelah kecelakaan (Foto:Wikimedia)

Kedua, persoalan sosial yang mengiringi pembangunan PLTN adalah fakta yang mesti diperhitungkan. Unjuk rasa masyarakat Jawa Tengah membuktikan bahwa megaproyek ini bermasalah dari sudut pandang sosial. Pendukung nuklir mengatakan, penolakan itu disebabkan warga belum paham manfaat dan keamanan nuklir. Sehingga, dengan sosialisasi lebih gencar, masyarakat akan menerima. Belum tentu! Ambil contoh. Sebuah survey di Nevada menyimpulkan, tujuh puluh persen responden menolak kawasan Yucca Mountain dijadikan tempat menyimpan limbah nuklir. Warga Nevada tidak awam tentang PLTN, sebab Amerika Serikat mengembangkan teknologi ini sejak puluhan tahun lalu.

Para ilmuwan tidak berhenti meneliti guna menghasilkan nuklir yang aman. Kini, tingkat kecemasan terhadap kecelakaan reaktor (termasuk jika diserang teroris) semakin menurun. Bahkan, dengan mengganti teknologi fisi menjadi fusi, keamanan PLTN diperkirakan meningkat tajam. Namun, ada persoalan lain yang belum ada jawabannya, yaitu limbah nuklir.

Limbah nuklir, dalam pandangan saya, adalah ‘senjata’ utama kelompok yang menolak PLTN. William Tester dan kawan-kawan di Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengatakan, hingga kini belum satu pun negara, termasuk negara nuklir utama (USA, Perancis, Jepang) yang mengantongi lisensi sebagai bukti bahwa mereka bisa menyimpan limbah nuklir secara aman. Padahal, HLW (High Level Wastes), yang merupakan limbah utama PLTN harus dikubur jauh-jauh di kawasan terpencil dan dijaga superketat. Sifat racun HLW bertahan selama ribuan tahun, walaupun setelah seribu tahun racunnya berkurang drastis. Tapi seribu tahun bukanlah waktu yang pendek jika digunakan memelihara racun.

Riset mengenai pembuangan limbah yang lebih aman juga terus dilakukan. Namun ada beberapa masalah yang masih menggantung. Antara lain, bagaimana kalau air tanah masuk lalu mengoksidasi pelindung limbah, sehingga air terkontaminasi, naik ke permukaan tanah dan dikonsumsi manusia? Atau bagaimana kalau terjadi getaran kulit bumi di lokasi penyimpanan sebagaimana sejak dulu membuat pusing Jepang? Jawaban masalah ini sesungguhnya gampang, yaitu dengan membuat fasilitas penyimpanan yang tidak memungkinkan kedua hal itu terjadi. Betul. Tapi siapa yang mampu membayar? Biayanya terlalu tinggi.

Drum limbah nuklir mengalami pelapukan di bawah laut (Foto:BBC London)

Ketersediaan lokasi penyimpanan limbah juga masalah besar. Sebagai contoh, awalnya lokasi pembuangan Yucca  Mountain adalah harapan besar. Karena, menurut Peter Beck di jurnal Anual Energy Review, sebelum lokasi Yucca ditemukan di Nevada, pencarian telah dilakukan selama 15 tahun di berbagai negara, tapi tidak ada tempat cocok. Biaya total juga tak tanggung-tanggung, sekitar 40 miliar dolar (setara Rp. 400.000.000.000.000), sama dengan 80 persen APBN Indonesia, hanya untuk satu lokasi penyimpanan. Ternyata, dengan uang dan usaha sebesar itu, Yucca hanya bisa menampung limbah 70 ribu ton. Sedangkan tahun 1999 saja, limbah nuklir dunia menurut IAEA 220.000 ton, dan terus meningkat karena dimana-mana orang ‘terjangkit demam PLTN.’ Memang, dengan teknologi terbaru, sekitar 30% limbah bisa didaur ulang. Tapi masih terlalu banyak yang tidak dapat di daur ulang.

Artinya, pertumbuhan PLTN terlalu cepat dibandingkan pertumbuhan tempat menyimpan limbahnya. Hal tersebut dikhawatirkan menjadi masalah baru, yakni perang. Negara-negara kuat, ketika kesulitan mencari tempat di negara sendiri, mungkin saja menaklukkan negara lemah untuk dijadikan tempat membuang limbah. Sebagaimana kini ada negara ditaklukkan negara lain, disinyalir karena minyak. Walhasil, PLTN yang awalnya bertujuan damai, bisa punya efek bawaan yang tidak damai, yaitu perang. Akan semakin bahaya jika perang tersebut menggunakan nuklir sebagai senjata. Karena menurut Matthew Bunn, fasilitas PLTN dengan gampang bisa dimodifikasi untuk memproduksi senjata nuklir. Sehingga, jika pemerintah Indonesia sering mengatakan bahwa PLTN tidak sama dengan bom nuklir, saya justru ingin mengatakan, politik dan ekonomi bisa membuat PLTN menjadi bom nuklir.

Perlu juga dipahami, bahwa nuklir tidak termasuk energi terbarukan, walaupun Menristek Suyanto Kadiman selalu mengklasifikasi nuklir sebagai energi terbarukan. Menurut International Energy Agency (IEA), cadangan uranium dunia, sebagai bahan bakar nuklir, hanya berkisar 85 – 100 tahun lagi. Alias, “bersenang-senang 100 tahun, bersakit-sakit ribuan tahun dengan limbahnya.”

Jika memang setelah 100 tahun dunia kehabisan uranium, maka limbah nuklir benar-benar masalah besar. Karena, PLTN dimana-mana sudah ditutup karena kehabisan bahan bakar, tapi limbahnya masih harus dipelihara, secara sangat hati-hati dan biaya tinggi. Padahal, seratus tahun kedepan, mungkin saja generasi saat itu sudah menemukan sumber energi lain yang lebih baik, sebab kini riset ke arah itu sudah menunjukkan tanda-tanda menggembirakan. Jika hal itu terjadi, generasi saat itu akan makin makan hati. Mengutip Kahlil Gibran, “anak cucu tak kan sudi mengakui kita sebagai nenek moyangnya,” karena kita mewariskan racun pada mereka. Seolah kita lupa, generasi terdahulu tidak mewariskan masalah apapun pada generasi kita sekarang.

Adakah negara nuklir yang beralih ke energi lain? Ada. Sebagai contoh, Jerman segera menghentikan proyek nuklir. Tidak ada pembangunan reaktor baru, tidak ada impor uranium. Sebagai gantinya, Jerman mengambangkan tenaga angin. Sedangkan Swedia mengganti semua PLTN dengan biomas rendah karbon. Austria juga sudah memadamkan semua PLTN miliknya.

Turbin angin milik Siemens di Mecklenburg-Vorpommern, German (Foto: Siemens)

Sebagai kesimpulan, ide membangun PLTN Muria memang bisa menjadi solusi manjur bagi persoalan energi nasional. Namun demikian, untuk jangka panjang teknologi ini tidak bisa diandalkan. PLTN membawa dampak mengerikan bagi generasi nanti, saat kita sudah di dalam tanah, setelah kenyang menikmati hasil nuklir kita selama seratus tahun.***

4 thoughts on “Solusi berlabel Haram? (Anathema-labelled solution?)

Add yours

  1. artikel yang menarik pak!!
    Mungkin sudah saatnya pemerintah memikirkan dampak negatif dari PLTN itu nantinya..
    kan masih banyak solusi yang jauh lebih baik dan lebih ramah lingkungan untuk mengatasi krisis listrik di yang terjadi di negeri kita ini..
    Atau mungkin suatu saat malah bapak yang menjadi pencetus ide untuk solusi ini.he..he..
    sukses slalu pak!!

  2. Setelah membaca artikel yang anda tulis, saya sangat setuju dengan pandangan anda tentang bahaya nuklir. Radiasi nuklir memang sangat berbahaya tetapi yang lebih berbahaya adalah radiasi nuklirnya jika mengalami kebocoran dan limbah nuklirnya. Jadi menurut saya PLTN bukan solusi satu-satunya untuk mengatasi masalah krisis energi, masih banyak solusi yang terbaik untuk mengatasi krisis energi di negara indonesia. Kita sebagai negara berkembang juga harus belajar dari negara-negara yang mengalihkan PLTNnya ke pembangkit lain yang lebih ramah lingkungan. Seperti pembangkit listrik tenaga angin, hidro, surya. Indonesia adalah negara tropis yang sangat kaya dengan energi angin dan surya. Jika pemerintah memiliki prinsip “Membangun pembangkit listrik yang ramah lingkungan dengan memperdayakan kekayaan alam indonesia yang berlimpah demi kelangsungan hidup semua warganya. Pasti warga indonesia akan mendukung kebijakan pemerintah yang memihak rakyat. Saya harap semoga pemerintah lebih melihat kedepan tidak hanya sekedar menutup hanya pada salah satu solusi saja untuk mengatasi krisis energi.

Leave a reply to Aloysius Cancel reply

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑